”Gejolak akibat risk-aversion global”
Hampir semua pergerakan di pasar obligasi domestik selama bulan September dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di luar Indonesia. Krisis kredit AS dan Eropa yang berkepanjangan yang telah membuat beberapa lembaga keuangan besar kolaps tidak saja mengakibatkan krisis kepercayaan di antara lembaga-lembaga tersebut namun juga pada investor global. Krisis kepercayaan ini juga berimbas kepada kelas aset lain dan ke dalam regional lain terutama pasar yang memiliki imbal hasil tinggi, termasuk Indonesia melalui deleveraging (penurunan hutang) dan keluarnya investor dari saham, obligasi dan mata uang regional. Premium yang diharapkan untuk memegang aset-aset ini meningkat akibat sikap investor global yang menjadi risk averse (menghindari resiko).
Di tengah-tengah tingginya gejolak, investor menuntut imbal hasil yang lebih tinggi pada lelang obligasi Pemerintah. Akhirnya Pemerintah harus membatalkan dua pelelangan, karena tingkat imbal hasil yang dituntut investor lebih tinggi dari pada yang diperkirakan sebelumnya. Premium resiko untuk memegang obligasi Indonesia bertenor 5 tahun naik melampaui level 300 yang merupakan tingkat yang pernah dicapai pada tahun 2004. Kurva imbal hasil bergeser naik secara paralel sebesar satu persen untuk semua tenor. Likuiditas pada pasar uang juga menjadi ketat karena permintaan untuk pinjaman yang lebih besar dari pada pertumbuhan dana pihak ketiga yang melambat akibat suku bunga riil yang negatif, besarnya kebutuhan uang tunai sebelum libur Lebaran dan belum turunnya dana untuk pengeluaran pemerintah sepanjang kuartal lalu. Harga minyak jatuh di bawah US$100 untuk pertama kalinya tahun ini karena permintaan energi perlambatan perekonomian global yang mulai terlihat. Penurunan pada harga minyak dan tindakan flight to safety (memindahkan dana ke tempat yang dianggap aman) yang dilakukan oleh investor global, memperkuat USD dan menekan mata uang dengan yield tinggi. Rupiah melemah ke angka 9500 seperti yang terjadi pada tahun 2005. Melemahnya Rupiah kembali menurunkan return (imbal hasil) aset berdenominasi mata uang lokal, sehingga membuat investasi pada obligasi lokal menjadi tidak begitu menarik. Pelemahan Rupiah sebagian juga dipengaruhi oleh menurunnya neraca berjalan dan perdagangan akibat harga komoditas yang menurun tajam, sementara impor naik akibat permintaan domestik yang kuat.
Angka inflasi bulan September telah diumumkan dengan angka m-o-m 0.97% dan y-o-y 12.14% sedikit di atas perkiraan pasar. Walaupun angka angka ini lebih tinggi, dan melihat permintaan yang memang secara historis lebih tinggi sebelum hari raya, sebagian besar komponen angka inflasi masih sesuai dengan perkiraan, kecuali untuk komponen gas rumah tangga (elpiji) yang telah naik selama beberapa bulan ini. Data lain yang juga positif adalah adanya surplus dari neraca perdagangan yang hampir semua bersumber dari turunnya impor minyak, dan sedikit penurunan pada impor nonmigas yang menunjukkan adanya sedikit penurunan pada permintaan domestik.
Kami berpendapat bahwa tekanan jual pada pasar obligasi akan tetap ada selagi investor asing melakukan proses deleveraging. Namun demikian, imbal hasil obligasi yang tinggi pada akhirnya akan menimbulkan minat beli, walaupun investor masih berhati-hati akibat kondisi ekonomi global. Pasar saham dan pergerakan Rupiah juga akan menjadi penggerak utama. Berlawanan dengan bank-bank sentral global, BI diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga karena permintaan domestik belum tampak mereda. BI akan tetap fokus pada menjaga stabilitas Rupiah. Sentimen akan sangat berperan pada saat ini, namun demikian kami memperkirakan investor global akan kembali masuk ke obligasi lokal yang mempunyai fundamental yang solid dan valuasi menarik ketika situasi sudah lebih jelas.
Sumber : Market Review & Outlook Reksadana Manulife Indonesia
Fixed Income Market September 2008
Ridha, Sabtu, 18 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar